Selfie atau memotret diri sendiri sepertinya adalah hal sepele dan… begitu banyak orang menyukainya. Namun jika itu menjadi sebuah kecanduan, bisa jadi itu dapat membahayakan diri sendiri.
Danny Bowman, 19 tahun senang melakukan selfie setiap hari. Ia menghabiskan 10 jam setiap harinya untuk selfie kemudian menaruh kurang lebih 200 fotonya di berbagai Social media seperti Instagram, Facebook, dll setiap harinya. Ia drop out dari sekolahnya, tidak meninggalkan rumahnya selama 6 bulan. Ia terus berusaha membuat dirinya lebih baik dan lebih baik lagi di depan kamera Iphone nya.
Ketika orang tuanya berusaha menghentikannya, ia menjadi sangat agresif dan menyerang orang tuanya. Akhirnya, di dalam usaha drastisnya yang ia lakukan agar bisa keluar dari obsesinya, Danny akhirnya minum obat hingga overdosis dalam usahanya mengakhiri hidupnya. Untunglah ia segera diketahui dan ditolong oleh ibunya. Ini adalah kasus pertama yang terjadi di Inggris yang diberitakan oleh The Mirror UK pada 23 Mar 2014.
Di dalam wawancaranya Danny berkata seperti ini: “I was constantly in search of taking the perfect selfie and when I realized, I couldn’t, I wanted to die. I lost my friends, my education, my health and almost my life.”
Mengapa Selfitis ini merusak mental dan berbahaya jika tidak dikontrol?
Orang biasanya tidak menyadari, ketika ia memposting gambarnya di facebook, atau twitter atau Instagram dan media sosial lainnya. Hal tersebut bisa menjadi seperti spiral yang makin lama makin membesar. Sesuatu terjadi di dalam dirinya dan semakin lama makin membesar…. Apa itu??? Yaitu… Kebutuhan akan sebuah “ACCEPTANCE”. Begitu fotonya di likes, begitu jumlahnya menjadi makin dan makin banyak, ia makin merasa “DITERIMA”. Ia pun menjadi haus / dahaga untuk mendapat likes ini.
Sama seperti Kasus Denny, ketika ia posting sebuah gambar, likesnya dibawah 400, itu artinya fotonya jelek dan ia harus meningkatkan lagi kualitas dan gaya fotonya agar semakin dan semakin lebih banyak. Maka ketika orang mulai meninggalkannya dan tidak me-likes foto selfienya, ia pun menjadi gusar, cemas dll.
Para peneliti dari The Nottingham Trent University dalam penlitiannya membuat skala behavior selfitis ini (SBS – Selfitis Behavior Scale), sebagai berikut:
1. Borderline Selfitis:
Mengambil foto diri sendiri 3 kali sehari tapi tidak menguploadnya ke Social Media.
2. Acute Selfitis:
Mengambil foto 3 kali sehari dan memposting semua foto tersebut di social media.
3. Chronic Selfitis:
Merasa perlu untuk mengambil foto diri sendiri hampir disetiap waktu dan mempostingnya di social media lebih dari 6 x dalam sehari.
Jadi SELFITIS bukanlah sebuah hal yang tidak real. SELFITIS IS REAL 2 Orang peneliti (Janarthanan Balakrishnan dari Thiagarajar School of Management di India dengan Mark D. Griffiths yang juga dari The Nottingham Trent University di Inggris) mencoba melihat perilaku-perilaku orang (lebih dari 200 responden) yang suka memotret dirinya dan dalam kelompok kategori seperti di atas. (Published Nov 29, 2017, https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s11469-017-9844-x.pdf)
Peneliti tersebut menemukan bahwa Selfitis itu ternyata Valid dan bahkan dengan SBS tersebut, mereka dapat mengukur secara pasti seberapa parahnya Selfitis itu mempengaruhi kehidupan orang tersebut.
Pada akhirnya kita harus mengatakan bahwa Selfie itu adalah sesuatu yang normal namun jika berlebihan itu pasti tidak baik. Jadi frekuensinya serta jumlahnya harus jangan berlebih.
Teruslah menjadi bijak dalam bersosialisasi di Social Media.
“If you didn’t have thumbs or likes as what you have desired. It didn’t mean your followers didn’t like you. It could be just as simple as they didn’t have time to see your posts.” – GC
Have a GREAT Day! GC