Suatu pagi Walikota Bandung, Kang Emil (Ridwan Kamil), bersama-sama dengan anggota keluarganya keluar dari pendopo menuju alun-alun Bandung. Hari itu maksudnya ia dan keluarganya mau berpartisipasi kegiatan gotong royong untuk bersih-bersih lapangan alun-alun yang pasti kotor sisa acara malam sebelumnya.
Dengan semangat ’45 kang Emil dan keluarganya memunguti sampah. Dalam hatinya, dia yakin kalau dia lakukan itu, maka ratusan orang masyarakat yang ada di sana akan ikut terdorong untuk melakukan hal yang sama. Tapi apa yang terjadi ?
Kang Emil bertepuk sebelah tangan. Bukannya ikut membantu, sebagian besar masyarakat malah menonton sambil berdecak kagum, “hebat ya!! Walikota kita mah rajin banget”.
Sebagian besar remaja & ibu-ibu mendekati, apakah untuk turun tangan membantu? Ternyata tidak, mereka menghampiri bukan untuk membantu, melainkan meminta berfoto bersama!
Sebagian orang lagi sambil berbisik-bisik mengatakan… “Pencitraan…”
Kalau orang yang bijak, melihat hal seperti ini pasti akan menepok jidatnya dia, Miris… yah tapi apa mau dikata… Inilah bangsa kita.
Dari kejadian diatas ini, kita perlu mempertanyakan pernyataan yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia itu krisis keteladanan. Kalau menurut saya, kita sekarang ini tidak kurang untuk urusan Pemimpin yang dapat diteladani. Dari buku-buku kisah teladan yang berjilid-jilid, sosok-sosok inspiratif di Kick Andy yang muncul setiap minggu, hingga pemimpin-pemimpin muda yang hebat yang bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Sekarang ini yang jadi masalah sesungguhnya adalah masyarakat kita tidak kurang pemimpin-pemimpin hebat yang bisa diteladani. Melainkan masalah utamanya terletak pada bagaimana membuat masyarakat serta warga untuk meneladaninya dan bergerak untuk membantu pemimpin-pemimpin agar negara kita lebih tertib, lebih rapih, lebih indah, lebih makmur dan lebih lainnya.
Sebab sesungguhnya yang menjadi akar masalah bangsa kita ini adalah HATI NURANI yang sudah MATRA atau MATI RASA atau KEBAL atau BEBAL barangkali? Hati nurani yang tidak pernah sadar atau tidak bisa melihat bahwa bersih itu indah. Hati nurani yang tidak bisa melihat bahwa membuang sampah sekecil apa pun yang tidak pada tempatnya membuat diri kita tercemar & malu. Hati Nurani untuk mau tertib dan ikut aturan yang sudah dicanangkan oleh para pemimpin kita.
Wajah lingkungan kita sesungguhnya adalah wajah kepribadian kita, membiarkan lingkungan kita kotor, kumuh, tidak teratur, itu semua mencerminkan kepribadian kita dan perilaku bangsa yang buruk. Tapi apa mau dikata… Bangsa ini sepertinya sudah tidak ada malunya alias sudah MATRA (Mati Rasa). Semoga saja saya salah. Atau perlu ada orang yang berbicara lebih kasar lagi agar seperti alat kejut listrik, masyarakat kita dapat terbangun dari MATI RASAnya.
Bagaimana dengan himbauan untuk menggunakan masker, bagaimana dengan himbauan untuk menjaga jarak, pola hidup sehat dan lain-lain. Apakah ada Hati Nurani bangsa kita yang arif dan bijak untuk mentaati dan menteladani seruan para pemimpin kita. Turut serta untuk menjadi anggota masyarakat yang patuh dan mengikuti aturan yang dicanangkan atau himbauan dari begitu banyak tokoh masyarakat kita.
Padahal semua itu adalah demi kebaikan untuk diri kita sendiri. Mengapa banyak yang masih MATI RASA dan memilih untuk meRASAkan MATI?
“There is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It supercedes all other courts.” Mahatma Gandhi
”Every human has four endowments – self awareness, conscience, independent will and creative imagination. These give us the ultimate human freedom… The power to choose, to respond, to change.” Stephen Covey
Have a GREAT day! GC